Senin, 09 Juni 2014

teori tentang budaya

TEORI – TEORI TENTANG BUDAYA
ROGER M. KEESING

Dalam tulisan yang berjudul Teori-Teori Tentang Budaya, pembahasan yang dipakai M. Keesing  bersumber dari teori-teori lain. Di dalam bacaan ini, Keesing mencoba untuk mengulas mengenai teori dari Geertz, Rappaport, Vayda, Ward Goodenough, Levi-strauss, David Schneider, Singer, dll. Dengan bersumber kepada teori kebudayaan dari para pakar teori tersebut, Keesing mengolah pendapatnya sendiri hingga terciptalah sebuah tulisan yang berjudul Teori-Teori Tentang Budaya. Karena timbul banyak sekali pendapat serta pemikiran mengenai budaya, akhirnya Keesing dalam tulisannya membuat sebuah ringkasan mengenai pemikiran-pemikiran tentang budaya agar lebih mudah dimengerti oleh masyarakat. Ia membagi ke dalam 4 bidang, 4 bidang tersebut ialah:

a)   Budaya Sebagai Sistem Adaptif
Dari sekian banyak yang dipaparkan oleh Keesing dalam pembahasannya, kemudian keesing menyimpulkan makna dari budaya sebagai sistem adaptif, yaitu :

Pertama, setiap pemikiran bahwa apabila kita menguliti lapisan konvensi kultural, maka pada akhirnya kita akan menemukan Primal man dan keadaan manusia yang bugil di dasarnya, merupakan pemikiran yang steril dan berbahaya. Kita memerlukan satu model interaksional yang kompleks, bukan satu lapisan yang sederhana seperti itu. Jadi yang dimaksud oleh Keesing ialah dalam meneliti tentang suatu budaya diperlukan pemikiran yang sangat serius, tidak bisa diungkapan dengan biasa-biasa saja dan sederhana sekali. apabila kita mencoba untuk meneliti dan mengamati suatu permasalahan secara lebih dalam, maka yang kita dapatkan ialah sesuatu yang murni. Oleh karena itu, dikatakan oleh Keesing “merupakan pemikiran yang steril dan berbahaya”. Kebudayaan itu bersifat dinamis, namun sangat berhati-hati dalam menentukan bagaimana kemudian kelanjutannya.

Kedua, baik determinisme ekologis maupun determinisme kultural yang ekstrem sekarang dapat didukung oleh kepercayaan dan ideologi, tetapi tidak oleh ilmu pengetahuan yang arif bijaksana. Yang perlu untuk ditelusuri adalah cara-cara bagaimana garis acuan biologis ditransformasikan dan dikembangkan ke dalam pola-pola kultural. Dalam penelusuran tersebut memerlukan rencana penelitian yang imajinatif dan hati-hati serta penyelidikan yang telaten, bukan polemik-polemik dan sensasionalisme. Jadi yang dimaksud Keesing ialah kebudayaan tidak dapat diukur dalam ilmu pengetahuan dan tidak dapat apabila kita berpegang teguh dengan ilmu pengetahuan, tetapi kebudayaan itu diukur melalui kepercayaan dan ideologi-ideologi masyarakat yang berbudaya.

b)   Teori – teori Ideasional Mengenai Budaya
Teori ini adalah teori yang dipegang teguh oleh Keesing dalam setiap materinya ia menyebutkan tentang Ideasional yaitu budaya berperan sebagai sistem ide atau gagasan dan teori ini bertolak dengan ahli teori adaptasi tentang budaya. Keesing membedakan tiga cara yang khas dalam mendekati budaya sebagai sistem ide, yaitu sebagai berikut :

Budaya Sebagai Sistem Kognitif
Maksudnya ialah budaya itu sebagai pengetahuan atau kognitif. Jadi budaya bukan sekedar untuk hiasan saja dalam kehidupan seseorang, tetapi dengan mempelajari budaya, kita juga turut mempelajari suatu pengetahuan. Oleh karena itu, Keesing mengatakan bahwa budaya tidak didukung oleh ilmu pengetahuan yang arif bijaksana, sebab dengan kebudayaan itulah kita mempelajari suatu ilmu pengetahuan yang arif bijaksana itu. Keesing pun berpendapat bahwa perkembangan penelitian yang terus-menerus terhadap pengetahuan kultural ini dapat menghasilkan penglihatan yang lebih dalam dari kebudayaan tersebut.

Budaya Sebagai Sistem Struktural
Yang mempengaruhi susunan atau tatanan yang terpola secara kultural ialah pikiran. Struktur pemikiran-pemikiran yang meliputi tentang bahasa, adat istiadat yang berbeda antar masyarakat itu dipandang sebagai “Budaya”, yaitu bersifat universal yang semua masyarakat di dunia ini punya akan kebudayaan tersebut, daripada “sistem budaya” yang bersifat lokal. Oleh karena itu setiap budaya pada masing-masing masyarakat berbeda di seluruh dunia karena pikiran mereka yang menyebabkan kebudayaan itu berbeda satu sama lain.

Budaya Sebagai Sistem Simbolik
Kebudayaan itu tidak dimiliki individu namun dimiliki bersama oleh suatu masyarakat, dengan ciri khas tertentu pada masing-masing tempat. Geertz mengangggap pandangannya tentang budaya adalah semiotik. Mempelajari budaya berarti mempelajari aturan-aturan makna yang dimiliki bersama. Dengan meminjam satu arti "text" yang lebih luas dari Ricoeur, Geertz pada masa akhir-akhir ini menganggap satu kebudayaan sebagai "satu kumpulan teks". Karena kebudayaan merupakan suatu sistem simbolik, maka proses budaya haruslah dibaca, diterjemahkan, dan diinterpretasikan.

Budaya dan Sistem Sosiokultural
"Sistem sosiokultural" mewakili realisasi sosial atau aturan-aturan tentang "pola untuk hidup" yang ideasional dalam lingkungan tertentu. Satu pola pemukiman adalah satu elemen dari satu "sistem sosiokultural", bukan satu elemen dari "sistem kultural". Apa yang dibicarakan oleh para ahli adaptasi kultural adalah dalam satu pengertian "sistem sosiokultural dalam lingkungan". Sistem inilah yang adaptif atau maladaptif, dan tergantung dalam beberapa hal pada seleksi alam. Pola-pola ideasional untuk hidup, pola-pola makna dan sistem pengetahuan dan kepercayaan yang dimiliki bersama oleh subsistem sangat penting dari "cara hidup dalam lingkungan".

Budaya Sebagai Sistem Ideasional : Paradoks dan Masalah
Dalam pembahasan ini, para tokoh teori menganggap bahwa konsep ideasional perlu ditafsirkan secara hati-hati. Alasannya adalah pemikiran antara satu kebudayaan dengan budaya lain tentunya berbeda dalam mentafsirkan suatu fenomena. Namun pandangan lain tentang dilema konseptual melihat "budaya" sebagai hal bebas dari pikiran individu juga mempunyai bahaya. Bentuk budaya tergantung pada apa yang dipikirkan, dibayangkan, dan dipelajari oleh individu manusia dan juga pada apa yang dibentuk dan dipelihara oleh perilaku kolektif dalam pola kehidupan yang langgeng dalam ekosistem. Sehingga perlunya universalitas kultural untuk mengenalkan kebudayaannya agar tidak ada kesalahan dalam penafsirannya.

Ke Arah Penyelesaian Konseptual

Dalam pembahasan ini, budaya dianggap adalah sebuah teori seorang individu tentang apa yang diketahui, dipercayai, dan diartikan oleh masyarakatnya, teori individu tersebut tentang kode yang dipatuhi, tentang permainan yang dimainkan, di dalam masyarakat di mana dia lahir. Teori inilah yang di acu oleh seorang native actor dalam menafsirkan hal yang dia kurang akrab, dalam berinteraksi dengan orang asing atau supernatural dan dalam setting lain yang terletak di pinggir kehidupan yang digeluti sehari-hari. Sehingga budaya dapat bermakna berbeda, tergantung aktor dalam menafsirkan makna budaya tersebut, selain itu bentuk kajian dan analisis sangat diperlukan oleh aktor. Karena dengan adanya analisis dan kajian, maka akan tercipta suatu penyelesaian akan konsep yang tepat menurut individu yang menafsirkan.

tugas review buku patron & klien di sulawesi selatan

TUGAS REVIEW BUKU
PATRON & KLIEN DI SULAWESI SELATAN
Sebuah Kajian Fungsional-Struktural
Heddy Shri Ahimsa Putra



BAB I
 Pendahuluan

Studi mengenai patron klien penting artinya dalam disiplin ilmu antropologi, sosiologi dan ilmu politik. Agar hubungan ini dapat berjalan mulus diperlukan unsur-unsur tertentu di dalamnya. Pertama, bahwa apa yang diberikan oleh satu pihak adalah sesuatu yang berharga di mata pihak yang lain, baik berupa barang maupun jasa dan bisa diperkirakan bentuknya. Kedua, hubungan timbal balik antar pihak yang bersangkutan. Dalam pembahasannya, Scott mengatakan bahwa gejala patronase mempunyai ciri-ciri tertentu, yaitu tidak adanya persamaan dalam pertukaran, adanya sikap tatap muka, sifatnya yang luwes dan meluas. Namun terdapat ketimpangan dalam menjelaskan kedua hubungan tersebut karena patron berada dalam posisi pemberi barang dan jasa sedangkan klien mempunyai rasa wajib membalas pada patron.

Definisi hubungan patron klien yang dikemukakan oleh Scott terhitung masih berkaitan atas dasar uraian dari Wolf, dimana mempunyai implikasi bahwa orang yang masih terhitung kerabat tidak termasuk di dalamnya atau orang yang saling tolong menolong dan masih terdapat hubungan kekerabatan antara mereka tidak tercakup di situ. Menurut Scott dalam relasi ini unsur yang terpenting adalah timbal balik dan dimana kita mempunyai norma yang berbeda dengan hubungan kekerabatan. Jika norma yang mengatur interaksi antar kerabat bersifat relatif, maka norma yang mengatur hubungan timbal balik ini bersifat lebih universal dan mengandung 3 unsur pokok yaitu, bahwa seharusnya orang menghormati orang yang membantu mereka dan jangan menyakiti para penolong. Perbedaan yang lain bahwa hubungan patron klien tidak dapat dimunculkan oleh seorang individu namun harus diciptakan.

Dalam pembahasan patron klien dalam buku ini, mengangkat sebuah pendapat dari seorang ilmuan asal Prancis yang bernama Peltras. Dalam pembahasannya, Peltras membeberkan gejala patronase pada masa sekarang ini. Hubungan patron klien di kalangan orang Bugis dapat kita temukan pada hubungan yang terjadi antara seseorang yang disebut ajjoareng dengan joa. Ajjoareng adalah seorang yang menjadi dasar panutan yaitu seorang tokoh pemimpin yang menjadi pusat atau poros kegiatan orang-orang di sekitarnya. Sedangkan joa adalah para pengikutnya yang selalu menunjukkan kesetiaannya. Dalam masyarakat Makassar, hubungan antara ajjoareng dan joa disebut ana-ana atau taunna yang dengan sukarela menjadi pengikut atau mereka ini adalah keturunan dari pengikut sebelumnya. Orang Sulawesi selatan menyebut hubungan antara Karaeng dan Saona sebagai Minawang. Hubungan minawang ini bersifat sukarela namun bila sudah terbentuk hubungan patron dengan kliennya sangat erat mereka saling membela dan melindungi jika salah satu pihak mendapat kesulitan atau bahaya. Di Sulawesi selatan, makin tinggi tingkat kebangsawanan seorang anak areng, maka akan semakin tinggi pula pengikutnya. Hal ini dikarenakan tradisi tersebut sudah merupakan akibat wajar dari hukum adat di daerah tersebut.

Dalam analisisnya, hubungan patron klien menggunakan beberapa pendekatan. Pendekatan pertama, memendang patron klien sebagai salah satu upaya manusia untuk dapat bertahan hidup dalam suatu keadaan tertentu. Pendekatan kedua, memandang gejala ini sebagai gejala yang muncul karena adanya kondisi-kondisi tertentu dalam masyarakat. Pendapat yang ketiga, menurut J.J Scott, gejala patron klien bisa hidup di kawasan ini pada masa lalu dan juga masa kini karena adanya tiga kondisi pendukung. Kondisi pertama adalah terdapatnya perbedaan yang mencolok dalam kepemilikan kekayaan, status, serta kekuasaan. Hal semacam ini sedikit banyak dianggap sah oleh masyarakat yang terlibat dan di ikuti hubungan patron klien dalamnya. Kondisi yang kedua adalah adanya perbedaan penguasaan sumber daya merupakan suatu nilai yang lazim terdapat dimana-mana yang ternyata tidak selalu diikuti dengan gejala patron klien. Kondisi yang ketiga adalah apabila orang tidak dapat mengandalkan ikatan-ikatan kekerabatan saja sebagai wahana satu-satunya untuk mencari perlindungan serta memajukan diri. Dari ketiga kondisi pendukung tersebut, menurut Scott adalah faktor penting yang telah menyokong ikatan Patron Klien di kawasan Asia Tenggara pada masa lalu.
Ahimsa Putra menentukan objek penelitiannya di kawasan Sulawesi Selatan, tepatnya di daerah Luwu. Masalah yang dipilih dalam penelitiannya adalah mengenai sistem politik di daerah tersebut dengan alasan data mengenai masalah tersebut lebih banyak didapatkan.

II. Ajang (setting) Hubungan Patron Klien di Sulawesi Selatan pada Akhir Abad XIX
Di Sulawesi selatan pada masa politik pra-kolonial terjadi penggabungan dari beberapa kerajaan besar maupun kecil ke dalam persekutuan dengan kebebasan masing-masing kerajaan masih terjamin di dalamnya. Salah satu bentuk persekutuan tersebut disebut Tiga Boco. Dimana anggota yang bergabung di dalamnya adalah Goa, Bone dan Luwu. Persekutuan ini muncul karena adanya pertalian kekerabatan antara para bangsawan serta raja-raja dari tiga kerajaan tersebut serta karena sama-sama memberi pengaruh yang besar di Sulawesi Selatan. Persekutuan lainnya adalah Telu Boco. Dimana anggota dari persekutuan tersebut adalah Bone, Wajo serta Soppeng.  Persekutuan Telu Boco ini terbentuk disamping karena faktor kekerabatan juga karena geografisnya yang saling berdekatan dan sama-sama berada di daerah yang subur. Jenis persekutuan lain terjadi di Sidenreng dan Malusetasi. Persekutuan ini muncul karena adanya hubungan kekerabatan yang dekat diantara para rajanya serta karena letak daerah mereka yang berdekatan. Persekutuan-persekutuan semacam ini, masing-masing anggota tetap bebas mengatur wilayahnya sendiri, sedangkan dalam hal tertentu harus mengikuti keputusan dari raja yang menjadi ketua persekutuan tersebut.

Sistem politik masa Kolonial ditandai dengan masuknya Belanda pada abad 17. Mereka membuat Oost Indisce Compagnie atas wilayah Sulawesi Selatan. Tujuan Belanda saat itu selain untuk berdagang mereka juga memiliki tujuan memukul mundur bangsa Portugis yang lebih dahulu berkuasa disana. Belanda mulai membuat perjanjian-perjanjian dengan penduduk Sulawesi Selatan dengan tujuan utama untuk memonopoli perdagangan. Pola perkampungan di Sulawesi Selatan tidak mengenal kesatuan tempat tinggal seperti desa atau kampung seperti yang ada di Jawa. Pada masa itu yang pola perkampungan disebut kampong oleh Belanda ialah suatu kompleks tempat tinggal, tanpa diiringi suatu kesatuan pemerintahan atau administrasi.      Mata pencaharian penduduk Sulawesi Selatan sebagian besar adalah bercocok tanam atau bertani. Dalam pertaniannya, penduduk Sulawesi Selatan lebih dominan menanam padi dan jagung. Disamping tanaman pokok tersebut, mereka juga mendapat penghasilan lain dari berkebun, menanam tanaman keras di halaman rumah sendiri atau di atas tanah milik kampong  atau menanam ketela, kacang, pisang serta menangkap ikan di sungai.

 Kemudian kita akan melihat mengenai siri, sistem kekerabatan dan pernikahan. Yang pertama siri, yang dimaksud dengan siri ini menurut Chabot adalah perasaan seseorang yang direndahkan atau kalau martabatnya diserang, dihina dan orang lain mengetahuinya. Siri sebagai harga diri dan rasa malu tidak hanya ada dalam diri seorang individu saja atau bersifat perorangan. Dalam hal ini siri banyak mempengaruhi tindak-tanduknya dalm kehidupan bermasyarakat dan juga menjadi pelapis ikatan kekerabatan dan membangkitkan solidaritas di Sulawesi Selatan. Yang kedua yaitu mengenai kekerabatan. Masyarakat Bugis-Makassar merupakan masyarakat dengan sistem kekerabatan bilateral, dimana mereka menarik garis keturunan menurut garis ayah atau ibu. Dalam masyarakat seperti ini unit kekerabatan yang terpenting adalah keluarga inti, namun selain itu dikenal pula beberapa pengelompokan. Menurut penelitian Errington di kalangan orang Luwu dikenal 2 macam pengelompokan yang berbeda skalanya. Kelompok yang pertama adalah rapu, yang tercakup di dalamnya adalah orang-orang yang mempunyai satu nenek moyang sama. Menurut Errington, yang berada dalam satu rapu ini mempunyai kepentingan yang sama dan kepentingan tersebut menyangkut kebersatuan dalam siri. Individu yang menjadi pusat dalam rapu disebut matoa. Pengelompokan yang kedua mempunyai struktur yang mirip dengan rapu namun jumlahnya lebih besar. Dalam pengelompokan di atas, menurut Ahimsa putra muncul kebersatuan siri yang tidak berdasarkan atas hubungan kekerabatan semata, melainkan juga atas hubungan timbal balik, seperti antara hamba dengan tuannya, patron dengan kliennya, pelindung dan pengikutnya.  
                                                                                                          
Berikutnya adalah pernikahan, di Sulawesi Selatan. Orang tua sangat berperan dalam pernikahan, hal tersebut dapat dilihat mulai dalam proses perjodohan. Perjodohan dilakukan oleh orang tua karena dianggap hal tersebut merupakan usaha untuk meningkatkan martabat dalam keluarganya. Di Sulawesi selatan juga dikenal pernikahan ideal yang menyangkut kekerabatannya. Disini tugas to-matoa dalam kapolo adalah mengatur proses pernikahan tersebut.

III. Hubungan Patron Klien dan Kondisi Sosial Budaya di Sulawesi Selatan
                   Menurut Scott, faktor yang mendukung bertahannya gejala patronase adalah adanya pelapisan  kedudukan. Pelapisan kedudukan tersebut mulai dari pelapisan kekuasaan, kekayaan yang semuanya dianggap sah oleh masyarakat Sulawesi Selatan. Pertama pelapisan kedudukan,  dari penelitian Ahimsa Putra, tokoh raja di daerah Luwu dianggap turun ke dunia untuk menciptakan keteraturan dalam masyarakat dan erat hubunganya dengan kesuburan tanah serta kesehatan atau kesejahteraan  manusia. Selanjutnya masyarakat terbagi-bagi dalam beberapa golongan sesuai dengan tingkat kebangsawanannya. Kondisi tersebut menimbulkan gejala patron klien antara raja sebagai penguasa dengan para bawahannya dalam artian golongan yang lebih rendah. Kedua, mengenai pelapisan kekuasaan. Perbedaan dalam hal tingkat kebangsawanan serta bebas tidaknya seseorang membawa akibat lebih jauh pada hak serta kewajibannya. Dua hal tersebut sangat diperhatikan oleh masyarakat Sulawesi Selatan dalam membuat berbagai peraturan yang menyangkut aktivitas mereka dalam kehidupan sehari-hari. Adams merumuskan bahwa penguasaan pelaku atas unsur-unsur lingkungan tertentu merupakan dasar kekuasaan sosial dan dasar ini hanya dapat bekerja bila itu didasari oleh pelaku lainnya (Adams 1975:13). Disini dapat dilihat bahwa gejala patron klien timbul antara patron yaitu anakareng yang memegang kekuasaan dan penduduk biasa sebagai klien yang bergantung pada patron dalam mencari perlindungan, karena disini patron adalah yang membuat peraturan. Ketiga adalah pelapisan kekayaan. Dalam buku ini, Ahimsa Putra menggambarkan mengenai pelapisan kekayaan melalui contoh kepemilikan tanah. Dari uraian tersebut dapat dilihat bahwa adanya perbedaan kepemilikan tanah yang sangat nyata antara golongan bangsawan dan rakyat biasa. Lebih lanjut, Ahimsa Putra mengatakan bahwa golongan bangsawan menguasai sebagian besar tanah yang berkualitas tinggi. Ini mendukung kehadiran gejala patronase yang berkaitan dengan sumber daya tanah seperti yang dilihat dari bentuk kerjasama antara pemilik tanah dengan penggarap atau antara penggarap dengan pemegang pamase dimana tanah yang digarap itu berada.

Analisis Buku Patron & Klien Di Sulawesi Selatan
Dalam pembahasan artikel yang berjudul Patron & Klien Di Sulawesi Selatan karya Heddy Shri Ahimsa Putra adalah struktural fungsional dimana topik yang menjadi pusat bahasannya berupaya menafsirkan masyarakat sebagai sebuah struktur dengan bagian-bagian yang saling berhubungan. Dimana dalam artikel ini, Ahimsa Putra ingin meneliti tentang hubungan antara patron dan klien dalam masyarakat Bugis di Sulawesi Selatan.

Metode yang dipakai oleh Heddy Shri Ahimsa Putra dalam penelitiannya mengenai patron dan klien adalah metode perbandingan, dimana penulis bertujuan untuk membedakan hubungan patron klien dengan hubungan antara majikan dan budak. Dimana dalam penelitiannya, peneliti melakukan observasi yang mendalam dengan turun langsung ke lapangan guna mendapatkan pengetahuan yang seluas-luasnya terhadap objek penelitian. Jadi dalam kajian ini, Ahimsa Putra ingin mencari informasi seluas-luasnya mengenai tanggapan masyarakat terhadap keberadaan hubungan patron dan klien di Sulawesi Selatan. 

Pendekatan yang digunakan oleh Ahimsa Putra dalam artikel Patron & Klien Di Sulawesi Selatan adalah menggunakan pendekatan struktural fungsional.  Pemikiran struktural fungsional sangat dipengaruhi oleh pemikiran biologis yaitu menganggap masyarakat sebagai organisme biologis yaitu terdiri dari organ-organ yang saling ketergantungan, ketergantungan tersebut merupakan hasil atau konsekuensi agar organisme tersebut tetap dapat bertahan hidup. Sama halnya dengan pendekatan lainnya pendekatan struktural fungsional ini juga bertujuan untuk mencapai keteraturan sosial.

Permasalahan dalam jurnal penilitian dari Heddy Ahimsa Putra tentang Patron dan Klien  di Sulawesi Selatan dengan menggunakan kajian pendekatan Fungsional –Struktural, dimana yang dipengaruhi oleh pemikiran organisme biologis yaitu terdiri daro organisme-organisme yang saling ketergantungan , ketergantungan tersebut merupakan hasil konsekuensi agar organisme tersebut dapat terus bertahan hidup dan bertujuan untuk mencapai keteraturan sosial.
Bagaimana eksistensi patron dan klien dengan hubungannya pada masyarakat Sulawesi Selatan hingga saat ini. (tanda tanya)
 Dalam pengelompokan di atas, menurut Ahimsa putra muncul kebersatuan siri yang tidak berdasarkan atas hubungan kekerabatan semata, melainkan juga atas hubungan timbal balik, seperti antara hamba dengan tuannya, patron dengan kliennya, pelindung dan pengikutnya (Ahimsa Putra)        
Yang dimaksud dari kutipan tersebut adalah dimana pada masyarakat Sulawesi Selatan terdapat adanya pengelompokan rapu, yang di dalamnya adalah orang-orang yang mempunyai satu nenek moyang sama dan mempunyai kepentingan yang sama lalu kepentingan tersebut menyangkut kebersatuan dalam siri. Dan siri adalah suatu perasaan seseorang yang direndahkan atau kalau martabatnya diserang, dihina dan orang lain mengetahuinya. Siri sebagai harga diri dan rasa malu tidak hanya ada dalam diri seorang individu saja atau bersifat perorangan. Dalam hal ini siri banyak mempengaruhi tindak-tanduknya dalm kehidupan bermasyarakat dan juga menjadi pelapis ikatan kekerabatan dan membangkitkan solidaritas di Sulawesi Selatan.
“Masyarakat terbagi-bagi dalam beberapa golongan sesuai dengan tingkat kebangsawanannya. Kondisi tersebut menimbulkan gejala patron klien antara raja sebagai penguasa dengan para bawahannya dalam artian golongan yang lebih rendah.                                                                                            
Maksud pada kutipan tersebut ialah pada Masyarakat Sulawesi Selatan terdapat pelapisan kedudukan. Pelapisan kedudukan tersebut mulai dari pelapisan kekuasaan, kekayaan yang semuanya dianggap sah oleh masyarakat Sulawesi Selatan. Jadi, penekanan permasalahan dalam pembahasan tersebut adalah mengenai pengaruh siri dalam kekerabatan dan bagaimana pengukuran taraf sistem kebangsawanan pada masyarakat penganut patron & klien di Sulaewsi Selatan?

Jawaban
                1. “Siri banyak mempengaruhi tindak-tanduknya dalm kehidupan bermasyarakat dan juga menjadi pelapis ikatan kekerabatan dan membangkitkan solidaritas di Sulawesi Selatan.
Mengenai siri, sistem kekerabatan dan pernikahan. Yang pertama siri, yang dimaksud dengan siri ini menurut Chabot adalah perasaan seseorang yang direndahkan atau kalau martabatnya diserang, dihina dan orang lain mengetahuinya. Siri sebagai harga diri dan rasa malu tidak hanya ada dalam diri seorang individu saja atau bersifat perorangan. Yang kedua yaitu mengenai kekerabatan. Masyarakat Bugis-Makassar merupakan masyarakat dengan sistem kekerabatan bilateral, dimana mereka menarik garis keturunan menurut garis ayah atau ibu. Dalam masyarakat seperti ini unit kekerabatan yang terpenting adalah keluarga inti.
2. “Penelitian Ahimsa Putra, tokoh raja di daerah Luwu dianggap turun ke dunia untuk menciptakan keteraturan dalam masyarakat dan erat hubunganya dengan kesuburan tanah serta kesehatan atau kesejahteraan  manusia.
Mengenai pelapisan kekuasaan. Perbedaan dalam hal tingkat kebangsawanan serta bebas tidaknya seseorang membawa akibat lebih jauh pada hak serta kewajibannya. Hal tersebut sangat diperhatikan oleh masyarakat Sulawesi Selatan dalam membuat berbagai peraturan yang menyangkut aktivitas mereka dalam kehidupan sehari-hari. Disini dapat dilihat bahwa gejala patron klien timbul antara patron yaitu anakareng yang memegang kekuasaan dan penduduk biasa sebagai klien yang bergantung pada patron dalam mencari perlindungan, karena disini patron adalah yang membuat peraturan. Dan dapat dilihat juga bahwa adanya perbedaan kepemilikan tanah yang sangat nyata antara golongan bangsawan dan rakyat biasa. Golongan bangsawan menguasai sebagian besar tanah yang berkualitas tinggi. Ini mendukung kehadiran gejala patronase yang berkaitan dengan sumber daya tanah seperti yang dilihat dari bentuk kerjasama antara pemilik tanah dengan penggarap atau antara penggarap dengan pemegang pamase dimana tanah yang digarap itu berada.

Data dan Kleim
Data: Di Sulawesi selatan pada masa politik pra-kolonial terjadi penggabungan dari beberapa kerajaan besar maupun kecil ke dalam persekutuan dengan kebebasan masing-masing kerajaan masih terjamin di dalamnya. Salah satu bentuk persekutuan tersebut disebut Tiga Boco. Dimana anggota yang bergabung di dalamnya adalah Goa, Bone dan Luwu. Persekutuan ini muncul karena adanya pertalian kekerabatan antara para bangsawan serta raja-raja dari tiga kerajaan tersebut serta karena sama-sama memberi pengaruh yang besar di Sulawesi Selatan. Persekutuan lainnya adalah Telu Boco. Dimana anggota dari persekutuan tersebut adalah Bone, Wajo serta Soppeng.  Persekutuan Telu Boco ini terbentuk disamping karena faktor kekerabatan juga karena geografisnya yang saling berdekatan dan sama-sama berada di daerah yang subur. Jenis persekutuan lain terjadi di Sidenreng dan Malusetasi.

Kleim dalam bacaan artikel mengenai patron & klien di Sulawesi Selatan karya Ahimsa Putra adalah :
ü  Mata pencaharian penduduk Sulawesi Selatan sebagian besar adalah bercocok tanam atau bertani. Dalam pertaniannya, penduduk Sulawesi Selatan lebih dominan menanam padi dan jagung. Disamping tanaman pokok tersebut, mereka juga mendapat penghasilan lain dari berkebun, menanam tanaman keras di halaman rumah sendiri atau di atas tanah milik kampong  atau menanam ketela, kacang, pisang serta menangkap ikan di sungai.
ü  Siri, yang dimaksud dengan siri ini menurut Chabot adalah perasaan seseorang yang direndahkan atau kalau martabatnya diserang, dihina dan orang lain mengetahuinya. Siri sebagai harga diri dan rasa malu tidak hanya ada dalam diri seorang individu saja atau bersifat perorangan.

Retorika dan Argumentasi
Retorika  : Permainan kata yang ditulis penulis mudah di pahami dengan bahasa Indonesia yang baik. Penulis pun memaparkan dengan jelas dan baik.
Argumentasi : “Ahimsa Putra menggambarkan mengenai pelapisan kekayaan melalui contoh kepemilikan tanah”. Yaitu kepemilikan tanah antara tanah milik bangsawan dengan tanah  milik rakyat biyasa. Namun tanah milik golongan bangsawan leih besar dan lebih berkualitas tanahnya. Disini terlihat adanya pelapisan kekayaan dan kekuasaan.

Organisasi tekstual
Dalam artikel yang berjudul Patron & Klien Di Sulawesi Selatan karya Heddy Shri Ahimsa Putra ini sangat sesuai dan berurutan. Pertama penulis memberikan penjelaskan awal dari fenomena yang akan dibahas, kemudian di ikuti oleh penjelasan mengenai pengertian dari etnosains beserta teori yang dipakai dalam pembahasannya dan barulah penulis kemudian membahas tentang permasalahan dalam kajian yang menjadi topik utama pembahasan.


tugas analisis artikel sungai dan air ciliwung

Sungai Dan Air Ciliwung
Sebuah Kajian Etnoekologi
karya Heddy Shri Ahimsa Putra

Dalam pembahasan artikel yang berjudul Sungai Dan Air Ciliwung karya Heddy Shri Ahimsa Putra adalah karya etnosains atau etnografi baru dimana topik yang menjadi pusat bahasannya mengenai perbedaan atau perbandingan pandangan dalam masyarakat guna menjelaskan fenomena sosial dalam masyarakat, khususnya dalam pembahasan ini menyinggung tentang “Sungai Dan Air Ciliwung”. Dimana dalam artikel ini, Ahimsa Putra ingin meneliti tetang pendapat masyarakat yang tinggal di sekitar bantaran maupun diluar bantaran sungai Ciliwung mengenai pendapat mereka terhadap air sungai Ciliwung.

Metode yang dipakai oleh Heddy Shri Ahimsa Putra dalam penelitiannya mengenai sungai ciliwung adalah metode partisipasi observasi yang menghasilkan diskripsi analisis, dimana peneliti melakukan observasi yang mendalam dengan turun langsung ke lapangan guna mendapatkan pengetahuan yang seluas-luasnya terhadap objek penelitian. Jadi dalam kajian ini, Ahimsa Putra ingin mencari informasi seluas-luasnya mengenai tanggapan masyarakat terhadap keberadaan air sungai Ciliwung. 

Pendekatan yang digunakan oleh Ahimsa Putra dalam artikel Sungai Dan Air Ciliwung  adalah menggunakan pendekatan etnosains, Etnosains adalah pengetahuan yang khas dimiliki oleh suatu bangsa. Dari sini muncul istilah emik dan etnik. Emik adalah pandangan dari segi subjek yang diteliti dan etik merupakan pandangan dari segi peneliti. Jadi pendekatan etnosains bertujuan untuk mengetahui pengetahuan yang ada dan berkembang di suatu masyarakat.

Permasalahan yang saya angkat dari artikel yang berjudul Sungai Dan Air Ciliwung karya Heddy Shri Ahimsa Putra adalah mengenai pandangan dari peneliti maupun masyarakat tentang keberadaan dari air sungai Ciliwung. Dalam pembahasannya lebih lanjut, Ahimsa Putra menjadikan permasalahan tersebut kedalam bentuk klaim. Sehingga pembahasan mengenai pandangan masyarakat mengenai keberadaan sungai dan air ciliwung menjadi ciri tersendiri dalam kajian tersebut.

Deskripsi dalam pembahasan mengenai artikel karya Ahimsa Putra tersebut adalah mengenai sungai dan air Ciliwung, Ahimsa Putra mencoba untuk menguak berbagai pendapat baik dari masyarakat yang tinggal di sekitar bantaran sungai Ciliwung maupun di luar lingkungan tersebut mengenai keadaan dan kelayakan air yang ada di wilayah sungai Ciliwung. Dimana dalam pembahasannya dapat saya peroleh beberapa informasi, diantaranya bahwa air sungai ciliwung aman untuk dikonsumsi dan digunakan untuk aktivitas sehari-hari, namun dilain sisi di anggap bahwa air sungai Ciliwung adalah air yang telah tercemar dan tidak layak lagi digunakan untuk aktivitas sehari-hari. Sehingga dengan keberadaan sungai Ciliwung akhirnya timbul perselisihan pendapat antara kedua belah pihak.

Menurut pendapat Goodenough ada tiga masalah pokok dalam membandingkan suku-suku didunia sehingga diperlukannya metode etnosains ini yakni: ketidaksamaan data etnografi yang disebabkan perbedaan focus penelitian itu sendiri,  sejauh mana data-data tersebut tersedia untuk di bandingkan,  kriteria pengelompokan data (Goodenough, 1964:7-9)

Jadi dapat disimpulkan dari permasalahan tersebut bahwa etnosains atau etnoekologi lebih berfokus pada pemaknaan dan sudut padang masyarakat mengenai suatu fenomena dalam masyarakat mengenai keberadaan sungai Ciliwung. Dimana terdapat pemaknaan yang berbeda dalam menanggapi permasalahan tersebut, yaitu antara pihak yang menerima dan menolak penggunaan air sungai Ciliwung dalam kehidupan sehari-hari.

Konsep Etnosains berasal dari kata Yunani yakni “ethnos” yang berarti bangsa dan “scientia” yang berarti pengetahuan. Etnosains adalah pengetahuan yang khas dimiliki oleh suatu bangsa. Dalam kajian mengenai sungai dan air Ciliwung, saya menemukan berberapa konsep dalam pembahasannya, antara lain:
1.      Emik adalah pandangan dari segi subjek yang diteliti
2.      Etik merupakan pandangan dari segi peneliti.
3.      Linguistik atau bahasa dalam masyarakat, serta
4.      Peta kognisi masyarakat tentang perilaku maupun tindakan

Teori dalam pembahasan mengenai etnosains lebih menekankan pada kognisi dalam setiap pikiran masyarakat. Menurut Goodenough, budaya suatu masyarakat terdiri atas segala sesuatuyang harus diketahui atau dipercayai seseorang agar dia dapat berperilaku sesuai dengan cara yang diterima oleh masyarakat. Budaya bukanlah satu fenomena material belaka, tetapi budaya adalah pengorganisasian hal-hal yang bersifat material maupun non material yang dimiliki oleh manusia yang tersimpan dalam alam pikiran.

Jawaban dari permasalahan tersebut menurut Ahimsa Putra dari apa yang saya pahami adalah dalam kajian mengenai sungai Ciliwung, kita dihadapkan pada dua pandangan umum. Pandangan pertama memandang sungai Ciliwung sebagai sesuatu yang negatif, dimana kebanyakan masyarakat di luar wilayah bantaran sungai menganggap sungai ciliwung airnya tercemar dan tidak pantas apabila di gunakan untuk aktivitas keseharian. Yang kedua adalah tanggapan positif, karena dengan adanya sungai Ciliwung, maka warga setempat dapat memenuhi kebutuhannya akan air untuk aktivitas sehari-hari. Mereka meskipun tahu bahwa air Ciliwung keruh dan kotor, namun warga sekitar Ciliwung percaya bahwa air tersebut aman untuk di konsumsi. Sehingga dapat disimpulkan bahwa persepsi dalam masyarakat boleh saja berbeda, namun sebenarnya dari perbedaan tersebut kita diharapkan untuk saling menghargainya dan kalau bisa dicari titik terang dalam pemecahan permasalahan tersebut tanpa adanya pihak yang dirugikan. Karena artikel ini sebenarnya juga sudah memberikan pengetahuan tersebut, sehingga kita tahu tentang masing-masing pendapat dan cara penyelesaian dari permasalahan tersebut.

Retorik atau permainan kata dalam karya ini sangatlah baik, karena pada setiap ada kata-kata asing maka penulis akan melampirkan arti atau maksud dari kata-kata tersebut. Sehingga dalam setiap tulisannya dapat dengan mudah dipahami oleh pembaca.

Organisasi tekstual dalam artikel yang berjudul Sungai Dan Air Ciliwung karya Heddy Shri Ahimsa Putra ini sangat sesuai dan berurutan. Pertama penulis memberikan penjelaskan awal dari fenomena yang akan dibahas, kemudian di ikuti oleh penjelasan mengenai pengertian dari etnosains beserta teori yang dipakai dalam pembahasannya dan barulah penulis kemudian membahas tentang permasalahan dalam kajian yang menjadi topik utama pembahasan.


http://m-f-s-fpsi08.web.unair.ac.id/artikel_detail-47851-PSIKOLOGI-PENDEKATAN%20FENOMENOLOGI.html

tugas analisis buku geger tengger


GEGER TENGGER


Buku yang berjudul “Geger Tengger” karya Robert W. Hefner adalah karya etnografi dimana topik yang menjadi pusat bahasan pada materi ini adalah mengenai perubahan baik masyarakat suku bangsa Tengger, baik dalam bentuk perubahan sosial maupun ekonomi serta dampak dari perubahan tersebut terhadap kehidupan mereka. Di dalam penelitian ini, Robert Hefner dan Nancy Smith-Hefner menggunakan epistemologi berupa historisme. Dapat kita lihat ciri dari historisme adalah membahas kejadian dimasa kini dengan membandingkannya dengan masa lalu, yang di tandai dengan adanya angka tahun. Metode yang dipakai dalam penelitian tersebut adalah metode etnografi, dimana peneliti melakukan pendekatan terhadap masyarakat suku bangsa Tengger dan meneliti secara langsung maupun tidak langsung, langsung dalam hal ini berdasarkan penyelidikan pada masyarakat secara langsung dan tak langsung dalam hal ini berarti menggunakan literatur dan tulisan-tulisan orang lain.

Pendekatan yang dipakai oleh Robert Hefner dan Nancy Smith-Hefner dalam penelitiannya tentang geger tengger adalah menggunakan pendekatan holistik, yaitu dengan perhatian kepada segala aspek, mulai dari sosial, keagamaan, ekonomi dan hubungan masyarakat tengger dengan lingkungan sekitarnya. Pendekatan lain yang di pakai adalah menggunakan pendekatan oral history, dimana melakukan peneluasuran dengan cara mencari bukti-bukti sejarah dari tutur kata para masyarakat Tengger. Selain kedua pendekatan tersebut, peneliti juga menggunakan pendekatan ekonomi konvensional. Namun pendekatan yang saya pakai untuk mengkaji materi ini lebih pada pendekatan ekonomi konvensional.

Permasalahan yang saya angkat dari buku “Geger Tengger” adalah mengenai konsep perubahan struktur ekonomi. Dimana dalam kasus tersebut adalah termasuk bentuk klaim penulis terhadap tulisannya, sehingga pembahasan tersebut menjadi ciri tersendiri dalam kajian ini. Di dalam pembahasanya mengenai perubahan struktur ekonomi pada masyarakat suku bangsa Tengger adalah menelaah pada masa lampau, tepatnya berawal dari masa kolonial yang terjadi di Indonesia pada saat itu. Dimulai pada abad XVIII M dan XIX M, pemerintah kolonial melancarkan perubahan perekonomian Jawa dan pegunungan Tengger masuk dalam jaringan usaha perkebunan yang meluas keseluruh pulau.

Ekspansi eropa ini bukanlah hasil dari “penetrasi kapitalis” dengan kekuatan dari dalam. Bukan pula, seperti yang dikemukakan oleh kapitalisme modern, yang mana berdampak pada kapitalisme atas kelas dan masyarakat yang secara struktural mirip dengan yang ada di Eropa Barat (Frank 1969;Wallerstein 1974).

Dimana setelah terjadi perpindahan kekuasaan dari masa Orde Lama menuju Orde Baru. Terjadi sebuah pembangunan ekonomi besar-besaran oleh rezim penguasa pada masa itu. Dimana fasilitas dan akses dalam bidang ekonomi sedang gencar-gencarnya di bangun oleh pemerintahan saat itu. Sehingga memaksa masyarakat Jawa gunung seperti halnya suku bangsa Tengger untuk ikut terlibat dalam pembangunan tersebut. Dengan masuknya akses ekonomi seperti halnya jalan menuju Tengger, maka mulai masuklah pengaruh-pengaruh masyarakat asing dalam kearifan lokal masyarakat Tengger.Sehingga seolah masyarakat Tengger tenggelam dalam pasaran dan seperti disuguhi berbagai kenyaman produk barang dari luar. Dengan kasus tersebut, analisis saya berangkat dari pendekatan ekonomi konvensional, yaitu:

disini ditekankan bahwa individu merumuskan dan menafsirkan berbagai kebutuhannya dalam rangka interaksinya dengan orang lain di sekelilingnya, bukan dengan cara introspeksi menyendiri model ekonomi neoklasik dimana konsumen dianggap sebagai “raja” (Scitovsky 1976; Bourdieu 1977,177).

Seiring dengan bergulirnya masa Orde Baru, maka kemakmuran yang sempat dirasakan oleh masyarakat Tengger.yang dahulunya mereka selalu mendapat bantuan pupuk dan bibit dari pemerintah, kini mereka harus mengelola dengan modal swasta. Oleh karena itu, kini pertanian di tengger di monopoli oleh mereka yang kaya. Sehingga terjadi pengkatagorian masyarakat Tengger berdasarkan kelas-kelas dan juga memperlebar jurang antara yang kaya dan miskin.

Jawaban dari permasalahan tersebut menurut Roberf Hefner adalah dengan mencari referensi sosial yang masing-masing dapat digunakan untuk mempengaruhi hubungan antar kelompok dalam masyarakat, serta sejarah moral dan politik yang dikandungnya. Sehingga dengan semua itu, maka lahirlah sebuah komitmen bersama dalam masyarakat untuk menghadapi perubahan ekonomi. Komitmen sangatlah penting, karena komitmen dapat terlahir bentuk-bentuk kepuasan bersama.Setelah adanya komitmen yang kuat, maka diharapkan berkurangnya jarak dalam status ekonomi di masyarakat Tengger.

Retorik atau permainan kata dalam karya ini sangatlah baik, karena pada setiap ada kata-kata asing maka penulis akan melampirkan arti atau maksud dari kata-kata tersebut. Sehingga dalam setiap tulisannya dapat dengan mudah dipahami oleh pembaca.

Organisasi tekstual dalam buku Geger Tengger ini sangat sesuai dan berurutan. Pertama penulis memberikan pengenalan dian menjelaskan teori yang dipakai dalam pembahasannya dan barulah penulis kemudian membahas tentang permasalahan dalam suku bangsa Tengger. Dalam pembahasannya tentang suku Tengger, penulis juga menjelaskannya dengan sangat sesuai, sebab membahas mulai dari suku bangsa Tengger pada masa lampau hingga yang telah berkembang.


Rujukan: Hefner, Robert W .1999 Geger Tengger: Perubahan Masyarakat Sosial.Yogyakarta. LKiS

tugas antropologi psikologi dan psikiatri: ludruk sebagai sindrome gangguan jiwa



Tugas Antropologi Psikologi dan Psikiatri
Ludruk Sebagai
 Sindrome Gangguan Jiwa

Stress Budaya Pencetus Patologi

Awal terbentuknya culture bound syndrome, stress budaya dapat dialami individu atau kelompok dalam masyarakat, saat kebudayaan memberikan tekanan-tekanan baik secara langsung maupun tidak langsung. Seperti sebuah kebudayaan yang melalui aturan-aturan serta sanksi-sanksinya membuat para penganutnya terikat kedalam dan tidak memungkinkan penganutnya untuk bertindak di luar form baku yang telah ditetapkan. Dalam menghadapi stress, individu selain mengerahkan pertahanan psikologis (psychological defenses), juga mengerahkan pertahanan budayanya (culture defenses) yaitu dalam bentuk “sistem kepercayaan”, dalam upaya adaptasinya. Misalnya, terbentuknya organisasi dari suku-budaya tertentu di kotakota besar atau timbulnya kelompok aliran agama dan kepercayaan baru, merupakan cara budaya untuk menolong individu yang mengalami konflik dan stress. Adanya kepercayaan dan ritual budaya untuk mengurangi ketegangan merupakan faktor penting dalam menentukan berapa besarnya stress budaya tersebut. Jelaslah bahwa berbagai budaya menyokong atau memperkuat berbagai corak psikopatologi dan menyediakan berbagai peranan untuk mengekspresikannya.
Sumber stress budaya dapat berupa:
  1. Perubahan budaya yang cepat dan penyakit kejiwaan kehilangan budaya lama, misalnya pada urbanisasi dan modernisasi, 
  2. Kontak dan interaksi antar budaya, misalnya kawin antar suku, agama, ataupun transmigrasi.
A. Jenis-jenis culture bound syndrome and Psychopathology yang ada di Indonesia
WHO (World Health Organization) menyatakan bahwa ciri-ciri orang yang sehat dan kurang sehat jiwa di antaranya selalu diliputi oleh suasana kekhawatiran dan kegelisahan. Kemudian, ia mudah marah karena hal-hal yang sepele dan menyerang orang lain karena kemarahannya. Permusuhan, kebencian, sukar memaafkan orang lain merupakan suatu penyakit kejiwaan. Begitupun ketika tidak mampu menghadapi kenyataan hidup, tidak realistik, karenanya ia sering lari dari kenyataan dengan cara selalu menyalahkan orang lain (proyeksi) walaupun sebenarnya sumber kesalahan adalah dirinya.
Tiga faktor utama yang menjadi pencetus gangguan jiwa, yaitu: 1. genetik (internal), 2. pola asuh dan pola didik yang kurang baik (salah) karena anak terlalu dimanja dan dikerasi (otoriter/diktator), 3. serta lingkungan sebagai stresor seperti yang dikatakan Hidayat dalam Arianto (2004) Adanya suatu tekanan (pressure) dari lingkungan hanya bisa diobservasi dari reaksi patologik dari pihak individu yang bersifat biologis dan psikologis. Jelas bahwa stressnya sendiri tidak menentukan (non-spesifik), melainkan reaksi terhadap stress tersebut merupakan faktor penentu bagi timbulnya gangguan jiwa seperti yang ijelaskan oleh Maslim (1987).
Seperti yang telah saya jelaskan diatas bahwa gangguan jiwa ini dapat berasal dari depresi akibat lingkungan sosio kultural dimana manusia tersebut tinggal. Sumber dari stress budaya seperti yang disebutkan Maslim (1987) dapat berupa: (1) perubahan budaya yang cepat dan kehilangan budaya lama, misalnya pada urbanisasi dan modernisasi, (2) Kontak dan interaksi budaya, misalnya kawin antar suku, agama, ataupun transmigrasi Relativitas yang ada dalam berbagai budaya memberikan reaksi yang berbeda pula terhadap berbagai gejala gangguan jiwa. Ada gejala yang ditoleransi, diperkuat atau disokong, sehingga individu yang memperlihatkan gejala tersebut tampaknya tidak menderita dan tidak dianggap “sakit”. Sebaliknya, bila gejalagejala tersebut dianggap menyimpang dan tidak dapat ditoleransi, individu pembawa gejala tersebut tampak sangat menderita. Ini berarti, individu-individu dengan gangguan jiwa yang mirip bisa diberi fungsi dan peranan yang berbeda dalam berbagai budaya dimana mereka tinggal Kelompok diagnostik ini lebih dikenal dengan sebutan “culture bound syndrome”, yaitu suatu “sindroma sakit jiwa yang diakibatkan karena kondisi lingkungan budaya dimana si penderita tinggal ” dan hanya terbatas pada budaya tertentu serta diberi nama oleh budaya tersebut. Maslim (1987 dalam Arianto 2004:5-8) pemberian nama gangguan jiwa biasanya sesuai dengan budaya mereka masing-masing seperti misalnya:
Ludruk
Ludruk adalah kesenian panggung Jawa Timur, dahulu semua pemainnya adalah pria, termasuk mereka yang memainkan peranan wanita, sebagian tergolong dalam “male transvestite“,“ wedhokan ludruk ” atau dalam bahasa Indonesia berarti wanita ludruk. Jadi, dalam hal ini seorang pria yang memerankan peran wanita baik dalam karakter fisik maupun tingkah laku dengan alasan apapun juga dianggap mempunyai sutau gangguan jiwa yang disebut dengan ludruk. sampai-sampai dalam masyarakat Jawa Timur, seorang pria yang berpenampilan seperti wanita disebut banci.
Contoh penelitian mengenai ludruk adalah dari Prasadio (1972) pada 38 pemain ludruk di Jawa Timur. Sekarang ini kesenian ludruk mengalami perkembangan dengan mengambil wanita asli untuk memerankan tokoh wanita. Pemain ludruk wanita yang terkenal saat ini adalah Kastini dari Surabaya.
Dari pembahasan mengenai kesenian ludruk terkait dengan gangguan jiwa, timbul suatu sebuah lebelling yang kuat dalam masyarakat. Menurut pandangan masyarakat, apabila ada pertunjukkan ludruk pasti akan ada penampilan para banci(para pria yang berdandan dan berlagak seperti wanita/ wedhokan ludruk). Sesungguhnya pendapat tersebut terkesan penuh kontroversi apabila di masukkan dalam kategori gangguan jiwa, alasannya ludruk adalah sebuah pertunjukkan untuk menghibur masyarakat dan dimana para pemainnya dituntut untuk dapat beralih peran entah itu berdandan menjadi perempuan maupun menjadi karakter lain yang berbeda. Hal tersebut tentunya merupakan tuntutan pekerjaan bagi para pemain ludruk, jika mereka tidak melakukan peran tersebut maka mereka tidak akan mendapatkan peran dalam pertunjukkan dan tentunya tidak mendapatkan penghasilan. Alasan kedua adalah orang yang bekerja sebagai pemain ludruk, biasanya terus membawa karakter dari peran yang dimainkannya tersebut dalam kehidupan sehari-hari, sehingga timbul suatu kebiasaan untuk bersikap agak menyimpang dari masyarakat pada umumnya.


Keberadaan wedhokan ludruk dalam pembahasan sebelumnya adalah sosok yang termasuk inti dalam pertunjukkan ludruk, karena dalam pertunjukan ludruk, peran wedhokan ludruk berfungsi untuk memberikan kesemarakan dalam pertunjukkan. Misalnya saja dengan candaan mereka yang khas, olah gerak mereka yang seperti perempuan yang cerewet dan ganjen adalah kunci dari keseruan pertunjukkan ludruk. Sehingga terkesan aneh apabila seorang pria melakukan peran semacam itu. Sehingga muncullah berbagai macam standar dalam menentukan seberapa menyimpangnya perilaku dari pengidap sindrome ludruk tersebut. Dari sisi psikologi, keberadaan sindrome ludruk dirasa masih dalam standar aman, selama seseorang yang di duga mengalami sindrome tersebut masih menunjukkan identitas dan perilaku asli yang dimilikinya. Jadi, apabila seseorang yang terkena sindrome ludruk tersebut sudah berubah peran seperti dalam hal cara berpakaian, berkomunikasi dan berinteraksi, maka orang tersebut harus mengalami penanganan lebih lanjut.
Jadi, dapat disimpulkan bahwa ludruk belum tentu merupakan sindrome gangguan jiwa, karena itu semua tergantung dari sudut pandang orang yang melihatnya. Karena dari sudut pandang para pemain itu adalah suatu tuntutan pekerjaan, namun dari sudut pandang masyarakat ada yang menganggap tindakan tersebut sebagai sebuah gangguan jiwa. Oleh karena itu, diperlukan kesadaran bersama dalam memahami keadaan tersebut. Janganlah menilai seseorang hanya dari penampilanya, belum tentu mereka yang kita anggap menyimpang tersebut benar-benar menyimpang. Sewajarnya, keterbukaan masyarakat adalah kunci untuk menghilangkan cap yang sudah melekat tersebut. Sehingga tidak ada lagi saling berprasangka buruk pada setiap orang.

Rujukan :
http://networkedblogs.com/mRVx0 (diakses 12 April 2014, waktu akses pukul 17.34)