TUGAS
REVIEW BUKU
PATRON
& KLIEN DI SULAWESI
SELATAN
Sebuah Kajian Fungsional-Struktural
Heddy Shri Ahimsa Putra
BAB I
Pendahuluan
Studi
mengenai patron klien penting artinya dalam disiplin ilmu antropologi,
sosiologi dan ilmu politik. Agar hubungan ini dapat berjalan mulus diperlukan
unsur-unsur tertentu di dalamnya. Pertama, bahwa apa yang diberikan oleh satu
pihak adalah sesuatu yang berharga di mata pihak yang lain, baik berupa barang
maupun jasa dan bisa diperkirakan bentuknya. Kedua, hubungan timbal balik antar
pihak yang bersangkutan. Dalam pembahasannya, Scott mengatakan bahwa gejala
patronase mempunyai ciri-ciri tertentu, yaitu tidak adanya persamaan dalam
pertukaran, adanya sikap tatap muka, sifatnya yang luwes dan meluas. Namun
terdapat ketimpangan dalam menjelaskan kedua hubungan tersebut karena patron
berada dalam posisi pemberi barang dan jasa sedangkan klien mempunyai rasa
wajib membalas pada patron.
Definisi
hubungan patron klien yang dikemukakan oleh Scott terhitung masih berkaitan atas
dasar uraian dari Wolf, dimana mempunyai implikasi bahwa orang yang masih
terhitung kerabat tidak termasuk di dalamnya atau orang yang saling tolong
menolong dan masih terdapat hubungan kekerabatan antara mereka tidak tercakup
di situ. Menurut Scott dalam relasi ini unsur yang terpenting adalah timbal
balik dan dimana kita mempunyai norma yang berbeda dengan hubungan kekerabatan.
Jika norma yang mengatur interaksi antar kerabat bersifat relatif, maka norma
yang mengatur hubungan timbal balik ini bersifat lebih universal dan mengandung
3 unsur pokok yaitu, bahwa seharusnya orang menghormati orang yang membantu
mereka dan jangan menyakiti para penolong. Perbedaan yang lain bahwa hubungan
patron klien tidak dapat dimunculkan oleh seorang individu namun harus
diciptakan.
Dalam
pembahasan patron klien dalam buku ini, mengangkat sebuah pendapat dari seorang
ilmuan asal Prancis yang bernama Peltras. Dalam pembahasannya, Peltras membeberkan
gejala patronase pada masa sekarang ini. Hubungan patron klien di kalangan
orang Bugis dapat kita temukan pada hubungan yang terjadi antara seseorang yang
disebut ajjoareng dengan joa. Ajjoareng adalah seorang yang menjadi dasar panutan yaitu seorang
tokoh pemimpin yang menjadi pusat atau poros kegiatan orang-orang di
sekitarnya. Sedangkan joa adalah para
pengikutnya yang selalu menunjukkan kesetiaannya. Dalam masyarakat Makassar,
hubungan antara ajjoareng dan joa disebut ana-ana
atau taunna yang dengan sukarela
menjadi pengikut atau mereka ini adalah keturunan dari pengikut sebelumnya.
Orang Sulawesi selatan menyebut hubungan antara Karaeng dan Saona sebagai Minawang.
Hubungan minawang ini bersifat sukarela namun bila sudah terbentuk hubungan
patron dengan kliennya sangat erat mereka saling membela dan melindungi jika
salah satu pihak mendapat kesulitan atau bahaya. Di Sulawesi selatan, makin
tinggi tingkat kebangsawanan seorang anak areng, maka akan semakin tinggi pula pengikutnya.
Hal ini dikarenakan tradisi tersebut sudah merupakan akibat wajar dari hukum
adat di daerah tersebut.
Dalam
analisisnya, hubungan patron klien menggunakan beberapa pendekatan. Pendekatan
pertama, memendang patron klien sebagai salah satu upaya manusia untuk dapat
bertahan hidup dalam suatu keadaan tertentu. Pendekatan kedua, memandang gejala
ini sebagai gejala yang muncul karena adanya kondisi-kondisi tertentu dalam
masyarakat. Pendapat yang ketiga, menurut J.J Scott, gejala patron klien bisa
hidup di kawasan ini pada masa lalu dan juga masa kini karena adanya tiga
kondisi pendukung. Kondisi pertama adalah terdapatnya perbedaan yang mencolok
dalam kepemilikan kekayaan, status, serta kekuasaan. Hal semacam ini sedikit
banyak dianggap sah oleh masyarakat yang terlibat dan di ikuti hubungan patron
klien dalamnya. Kondisi yang kedua adalah adanya perbedaan penguasaan sumber
daya merupakan suatu nilai yang lazim terdapat dimana-mana yang ternyata tidak
selalu diikuti dengan gejala patron klien. Kondisi yang ketiga adalah apabila
orang tidak dapat mengandalkan ikatan-ikatan kekerabatan saja sebagai wahana
satu-satunya untuk mencari perlindungan serta memajukan diri. Dari ketiga
kondisi pendukung tersebut, menurut Scott adalah faktor penting yang telah
menyokong ikatan Patron Klien di kawasan Asia Tenggara pada masa lalu.
Ahimsa
Putra menentukan objek penelitiannya di kawasan Sulawesi Selatan, tepatnya di
daerah Luwu. Masalah yang dipilih dalam penelitiannya adalah mengenai sistem
politik di daerah tersebut dengan alasan data mengenai masalah tersebut lebih
banyak didapatkan.
II. Ajang
(setting) Hubungan Patron Klien di Sulawesi Selatan pada Akhir Abad XIX
Di
Sulawesi selatan pada masa politik pra-kolonial terjadi penggabungan dari
beberapa kerajaan besar maupun kecil ke dalam persekutuan dengan kebebasan
masing-masing kerajaan masih terjamin di dalamnya. Salah satu bentuk
persekutuan tersebut disebut Tiga Boco.
Dimana anggota yang bergabung di dalamnya adalah Goa, Bone dan Luwu.
Persekutuan ini muncul karena adanya pertalian kekerabatan antara para
bangsawan serta raja-raja dari tiga kerajaan tersebut serta karena sama-sama
memberi pengaruh yang besar di Sulawesi Selatan. Persekutuan lainnya adalah Telu Boco. Dimana anggota dari
persekutuan tersebut adalah Bone, Wajo serta Soppeng. Persekutuan Telu Boco ini terbentuk disamping karena
faktor kekerabatan juga karena geografisnya yang saling berdekatan dan sama-sama
berada di daerah yang subur. Jenis persekutuan lain terjadi di Sidenreng dan
Malusetasi. Persekutuan ini muncul karena adanya hubungan kekerabatan yang
dekat diantara para rajanya serta karena letak daerah mereka yang berdekatan.
Persekutuan-persekutuan semacam ini, masing-masing anggota tetap bebas mengatur
wilayahnya sendiri, sedangkan dalam hal tertentu harus mengikuti keputusan dari
raja yang menjadi ketua persekutuan tersebut.
Sistem
politik masa Kolonial ditandai dengan masuknya Belanda pada abad 17. Mereka
membuat Oost Indisce Compagnie atas
wilayah Sulawesi Selatan. Tujuan Belanda saat itu selain untuk berdagang mereka
juga memiliki tujuan memukul mundur bangsa Portugis yang lebih dahulu berkuasa
disana. Belanda mulai membuat perjanjian-perjanjian dengan penduduk Sulawesi Selatan
dengan tujuan utama untuk memonopoli perdagangan. Pola perkampungan di Sulawesi
Selatan tidak mengenal kesatuan tempat tinggal seperti desa atau kampung seperti
yang ada di Jawa. Pada masa itu yang pola perkampungan disebut kampong oleh Belanda ialah suatu
kompleks tempat tinggal, tanpa diiringi suatu kesatuan pemerintahan atau
administrasi. Mata pencaharian
penduduk Sulawesi Selatan sebagian besar adalah bercocok tanam atau bertani.
Dalam pertaniannya, penduduk Sulawesi Selatan lebih dominan menanam padi dan
jagung. Disamping tanaman pokok tersebut, mereka juga mendapat penghasilan lain
dari berkebun, menanam tanaman keras di halaman rumah sendiri atau di atas
tanah milik kampong atau menanam ketela,
kacang, pisang serta menangkap ikan di sungai.
Kemudian
kita akan melihat mengenai siri, sistem kekerabatan dan pernikahan. Yang
pertama siri, yang dimaksud dengan siri ini menurut Chabot adalah perasaan
seseorang yang direndahkan atau kalau martabatnya diserang, dihina dan orang
lain mengetahuinya. Siri sebagai harga diri dan rasa malu tidak hanya ada dalam
diri seorang individu saja atau bersifat perorangan. Dalam hal ini siri banyak
mempengaruhi tindak-tanduknya dalm kehidupan bermasyarakat dan juga menjadi
pelapis ikatan kekerabatan dan membangkitkan solidaritas di Sulawesi Selatan.
Yang kedua yaitu mengenai kekerabatan. Masyarakat Bugis-Makassar merupakan
masyarakat dengan sistem kekerabatan bilateral, dimana mereka menarik garis
keturunan menurut garis ayah atau ibu. Dalam masyarakat seperti ini unit
kekerabatan yang terpenting adalah keluarga inti, namun selain itu dikenal pula
beberapa pengelompokan. Menurut penelitian Errington di kalangan orang Luwu
dikenal 2 macam pengelompokan yang berbeda skalanya. Kelompok yang pertama
adalah rapu, yang tercakup di
dalamnya adalah orang-orang yang mempunyai satu nenek moyang sama. Menurut
Errington, yang berada dalam satu rapu ini mempunyai kepentingan yang sama dan
kepentingan tersebut menyangkut kebersatuan dalam siri. Individu yang menjadi
pusat dalam rapu disebut matoa.
Pengelompokan yang kedua mempunyai struktur yang mirip dengan rapu namun jumlahnya
lebih besar. Dalam pengelompokan di atas, menurut Ahimsa putra muncul
kebersatuan siri yang tidak berdasarkan atas hubungan kekerabatan semata,
melainkan juga atas hubungan timbal balik, seperti antara hamba dengan tuannya,
patron dengan kliennya, pelindung dan
pengikutnya.
Berikutnya
adalah pernikahan, di Sulawesi Selatan. Orang tua sangat berperan dalam
pernikahan, hal tersebut dapat dilihat mulai dalam proses perjodohan.
Perjodohan dilakukan oleh orang tua karena dianggap hal tersebut merupakan
usaha untuk meningkatkan martabat dalam keluarganya. Di Sulawesi selatan juga
dikenal pernikahan ideal yang menyangkut kekerabatannya. Disini tugas to-matoa
dalam kapolo adalah mengatur proses pernikahan tersebut.
III. Hubungan Patron Klien
dan Kondisi Sosial Budaya di Sulawesi Selatan
Menurut
Scott, faktor yang mendukung bertahannya gejala patronase adalah adanya pelapisan kedudukan.
Pelapisan kedudukan tersebut mulai dari pelapisan kekuasaan, kekayaan yang
semuanya dianggap sah oleh masyarakat Sulawesi Selatan. Pertama pelapisan kedudukan,
dari penelitian Ahimsa Putra, tokoh raja
di daerah Luwu dianggap turun ke dunia untuk menciptakan keteraturan dalam
masyarakat dan erat hubunganya dengan kesuburan tanah serta kesehatan atau
kesejahteraan manusia. Selanjutnya masyarakat terbagi-bagi dalam
beberapa golongan sesuai dengan tingkat kebangsawanannya. Kondisi tersebut
menimbulkan gejala patron klien antara raja sebagai penguasa dengan para
bawahannya dalam artian golongan yang lebih rendah. Kedua, mengenai pelapisan
kekuasaan. Perbedaan dalam hal tingkat kebangsawanan serta bebas tidaknya
seseorang membawa akibat lebih jauh pada hak serta kewajibannya. Dua hal
tersebut sangat diperhatikan oleh masyarakat Sulawesi Selatan dalam membuat
berbagai peraturan yang menyangkut aktivitas mereka dalam kehidupan sehari-hari.
Adams merumuskan bahwa penguasaan pelaku atas unsur-unsur lingkungan tertentu
merupakan dasar kekuasaan sosial dan dasar ini hanya dapat bekerja bila itu
didasari oleh pelaku lainnya (Adams 1975:13). Disini dapat dilihat bahwa gejala
patron klien timbul antara patron yaitu anakareng yang memegang kekuasaan dan
penduduk biasa sebagai klien yang bergantung pada patron dalam mencari
perlindungan, karena disini patron adalah yang membuat peraturan. Ketiga adalah
pelapisan kekayaan. Dalam buku ini, Ahimsa Putra menggambarkan mengenai
pelapisan kekayaan melalui contoh kepemilikan tanah. Dari uraian tersebut dapat
dilihat bahwa adanya perbedaan kepemilikan tanah yang sangat nyata antara
golongan bangsawan dan rakyat biasa. Lebih lanjut, Ahimsa Putra mengatakan
bahwa golongan bangsawan menguasai sebagian besar tanah yang berkualitas
tinggi. Ini mendukung kehadiran gejala patronase yang berkaitan dengan sumber
daya tanah seperti yang dilihat dari bentuk kerjasama antara pemilik tanah
dengan penggarap atau antara penggarap dengan pemegang pamase dimana tanah yang
digarap itu berada.
Analisis Buku Patron & Klien Di Sulawesi Selatan
Dalam
pembahasan artikel yang berjudul Patron & Klien Di Sulawesi Selatan
karya Heddy Shri Ahimsa Putra adalah struktural fungsional dimana topik yang
menjadi pusat bahasannya berupaya menafsirkan
masyarakat sebagai sebuah struktur dengan bagian-bagian yang saling berhubungan.
Dimana dalam artikel ini, Ahimsa Putra ingin meneliti tentang hubungan antara
patron dan klien dalam masyarakat Bugis di Sulawesi Selatan.
Metode
yang dipakai oleh Heddy Shri Ahimsa Putra dalam penelitiannya mengenai patron
dan klien adalah metode perbandingan, dimana penulis bertujuan untuk membedakan
hubungan patron klien dengan hubungan antara majikan dan budak. Dimana dalam penelitiannya,
peneliti melakukan observasi yang mendalam dengan turun langsung ke lapangan
guna mendapatkan pengetahuan yang seluas-luasnya terhadap objek penelitian.
Jadi
dalam kajian ini, Ahimsa Putra ingin mencari informasi seluas-luasnya mengenai
tanggapan masyarakat terhadap keberadaan hubungan patron dan klien di Sulawesi
Selatan.
Pendekatan
yang digunakan oleh Ahimsa Putra dalam artikel Patron & Klien Di Sulawesi Selatan
adalah menggunakan pendekatan struktural
fungsional. Pemikiran struktural fungsional sangat dipengaruhi oleh pemikiran
biologis yaitu menganggap masyarakat sebagai organisme biologis yaitu terdiri
dari organ-organ yang saling ketergantungan, ketergantungan tersebut merupakan
hasil atau konsekuensi agar organisme tersebut tetap dapat bertahan hidup. Sama
halnya dengan pendekatan lainnya pendekatan struktural fungsional ini juga
bertujuan untuk mencapai keteraturan sosial.
Permasalahan dalam jurnal
penilitian dari Heddy Ahimsa Putra tentang Patron dan Klien di Sulawesi Selatan dengan menggunakan kajian
pendekatan Fungsional –Struktural, dimana yang dipengaruhi oleh pemikiran
organisme biologis yaitu terdiri daro organisme-organisme yang saling ketergantungan
, ketergantungan tersebut merupakan hasil konsekuensi agar organisme tersebut
dapat terus bertahan hidup dan bertujuan untuk mencapai keteraturan sosial.
Bagaimana
eksistensi patron dan klien dengan hubungannya pada masyarakat Sulawesi Selatan
hingga saat ini. (tanda tanya)
“ Dalam pengelompokan di atas, menurut Ahimsa
putra muncul kebersatuan siri yang tidak berdasarkan atas hubungan kekerabatan
semata, melainkan juga atas hubungan timbal balik, seperti antara hamba dengan
tuannya, patron dengan kliennya, pelindung dan pengikutnya “(Ahimsa Putra)
Yang
dimaksud dari kutipan tersebut adalah dimana pada masyarakat Sulawesi Selatan
terdapat adanya pengelompokan rapu, yang di dalamnya adalah orang-orang yang
mempunyai satu nenek moyang sama dan mempunyai kepentingan yang sama lalu
kepentingan tersebut menyangkut kebersatuan dalam siri. Dan siri adalah suatu
perasaan seseorang yang direndahkan atau kalau martabatnya diserang, dihina dan
orang lain mengetahuinya. Siri sebagai harga diri dan rasa malu tidak hanya ada
dalam diri seorang individu saja atau bersifat perorangan. Dalam hal ini siri
banyak mempengaruhi tindak-tanduknya dalm kehidupan bermasyarakat dan juga
menjadi pelapis ikatan kekerabatan dan membangkitkan solidaritas di Sulawesi
Selatan.
“Masyarakat terbagi-bagi dalam
beberapa golongan sesuai dengan tingkat kebangsawanannya. Kondisi tersebut
menimbulkan gejala patron klien antara raja sebagai penguasa dengan para
bawahannya dalam artian golongan yang lebih rendah.”
Maksud
pada kutipan tersebut ialah pada Masyarakat Sulawesi Selatan terdapat pelapisan
kedudukan. Pelapisan kedudukan tersebut mulai dari pelapisan kekuasaan,
kekayaan yang semuanya dianggap sah oleh masyarakat Sulawesi Selatan. Jadi,
penekanan permasalahan dalam pembahasan tersebut adalah mengenai pengaruh siri
dalam kekerabatan dan bagaimana pengukuran taraf sistem kebangsawanan pada
masyarakat penganut patron & klien di Sulaewsi Selatan?
Jawaban
1. “Siri
banyak mempengaruhi tindak-tanduknya dalm kehidupan bermasyarakat dan juga
menjadi pelapis ikatan kekerabatan dan membangkitkan solidaritas di Sulawesi
Selatan.”
Mengenai siri, sistem kekerabatan dan
pernikahan. Yang pertama siri, yang dimaksud dengan siri ini menurut Chabot
adalah perasaan seseorang yang direndahkan atau kalau martabatnya diserang,
dihina dan orang lain mengetahuinya. Siri sebagai harga diri dan rasa malu
tidak hanya ada dalam diri seorang individu saja atau bersifat perorangan. Yang
kedua yaitu mengenai kekerabatan. Masyarakat Bugis-Makassar merupakan masyarakat
dengan sistem kekerabatan bilateral, dimana mereka menarik garis keturunan menurut
garis ayah atau ibu. Dalam masyarakat seperti ini unit kekerabatan yang terpenting
adalah keluarga inti.
2. “Penelitian
Ahimsa Putra, tokoh raja di daerah Luwu dianggap turun ke dunia untuk
menciptakan keteraturan dalam masyarakat dan erat hubunganya dengan kesuburan
tanah serta kesehatan atau kesejahteraan manusia.”
Mengenai pelapisan kekuasaan.
Perbedaan dalam hal tingkat kebangsawanan serta bebas tidaknya seseorang
membawa akibat lebih jauh pada hak serta kewajibannya. Hal tersebut sangat diperhatikan oleh masyarakat
Sulawesi Selatan dalam membuat berbagai peraturan yang menyangkut aktivitas
mereka dalam kehidupan sehari-hari. Disini dapat dilihat bahwa gejala patron
klien timbul antara patron yaitu anakareng yang memegang kekuasaan dan penduduk
biasa sebagai klien yang bergantung pada patron dalam mencari perlindungan,
karena disini patron adalah yang membuat peraturan. Dan dapat dilihat juga bahwa adanya perbedaan kepemilikan
tanah yang sangat nyata antara golongan bangsawan dan rakyat biasa. Golongan bangsawan menguasai sebagian besar
tanah yang berkualitas tinggi. Ini mendukung kehadiran gejala patronase yang
berkaitan dengan sumber daya tanah seperti yang dilihat dari bentuk
kerjasama antara pemilik tanah dengan penggarap atau antara penggarap
dengan pemegang pamase dimana tanah yang digarap itu berada.
Data
dan Kleim
Data: Di Sulawesi selatan pada
masa politik pra-kolonial terjadi penggabungan dari beberapa kerajaan besar
maupun kecil ke dalam persekutuan dengan kebebasan masing-masing kerajaan masih
terjamin di dalamnya. Salah satu bentuk persekutuan tersebut disebut Tiga Boco. Dimana anggota yang bergabung
di dalamnya adalah Goa, Bone dan Luwu. Persekutuan ini muncul karena adanya
pertalian kekerabatan antara para bangsawan serta raja-raja dari tiga kerajaan
tersebut serta karena sama-sama memberi pengaruh yang besar di Sulawesi
Selatan. Persekutuan lainnya adalah Telu
Boco. Dimana anggota dari persekutuan tersebut adalah Bone, Wajo serta
Soppeng. Persekutuan Telu Boco
ini terbentuk disamping karena faktor kekerabatan juga karena geografisnya yang
saling berdekatan dan sama-sama berada di daerah yang subur. Jenis persekutuan
lain terjadi di Sidenreng dan Malusetasi.
Kleim dalam
bacaan artikel mengenai patron & klien di Sulawesi Selatan karya Ahimsa
Putra adalah :
ü Mata
pencaharian penduduk Sulawesi Selatan sebagian besar adalah bercocok tanam atau
bertani. Dalam pertaniannya, penduduk Sulawesi Selatan lebih dominan menanam
padi dan jagung. Disamping tanaman pokok tersebut, mereka juga mendapat
penghasilan lain dari berkebun, menanam tanaman keras di halaman rumah sendiri
atau di atas tanah milik kampong atau
menanam ketela, kacang, pisang serta menangkap ikan di sungai.
ü Siri, yang dimaksud dengan siri ini menurut
Chabot adalah perasaan seseorang yang direndahkan atau kalau martabatnya
diserang, dihina dan orang lain mengetahuinya. Siri sebagai harga diri dan rasa
malu tidak hanya ada dalam diri seorang individu saja atau bersifat perorangan.
Retorika
dan Argumentasi
Retorika : Permainan kata yang ditulis penulis mudah
di pahami dengan bahasa Indonesia yang baik. Penulis pun memaparkan dengan
jelas dan baik.
Argumentasi
: “Ahimsa Putra menggambarkan mengenai pelapisan kekayaan melalui contoh kepemilikan
tanah”. Yaitu kepemilikan tanah antara tanah milik bangsawan dengan tanah milik rakyat biyasa. Namun tanah milik
golongan bangsawan leih besar dan lebih berkualitas tanahnya. Disini terlihat
adanya pelapisan kekayaan dan kekuasaan.
Organisasi
tekstual
Dalam
artikel yang berjudul Patron & Klien Di Sulawesi Selatan
karya Heddy Shri Ahimsa Putra ini sangat sesuai dan berurutan. Pertama penulis
memberikan penjelaskan awal dari fenomena yang akan dibahas, kemudian di ikuti
oleh penjelasan mengenai pengertian dari etnosains beserta teori yang dipakai
dalam pembahasannya dan barulah penulis kemudian membahas tentang permasalahan
dalam kajian yang menjadi topik utama pembahasan.